Kapal-kapal bangsa Belanda pertama kali masuk perairan kepulauan Indonesia pada 1596 masehi, berpuluh-puluh tahun setelah kedatangan Portugis dan Spanyol. Sebagaimana 2 bangsa Eropa terakhir, kedatangan kapal bangsa Belanda ke Nusantara semula dilatar belakangi tujuan untuk mencari rempah-rempah yang saat itu menjadi komoditi utama dalam perdagangan internasional. Usaha pencarian rempah oleh bangsa Belanda tidak terlepas dari dominasi Spanyol dan Portugis, dua imperium terbesar daratan Eropa pada masanya. Sebelum memutuskan untuk mengeksploarsi samudra dan mencari rempah-rempah ke sumber asalnya, Belanda mendapat suplai rempah dari Lisboa (Pelabuhan Lisabon), Ibu kota Portugis. Namun, sejak Spanyol menguasai wilayah Belanda, Negeri Oranje dilarang menerima suplai rempah dari Portugis.
Padahal, menurut sejarawan M. C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, rempah merupakan bahan baku yang sangat penting bagi peradaban bangsa Eropa pada abad ke-15. Oleh orang-orang Eropa, rempah-rempah digunakan sebagai bahan obat-obatan, parfum, bumbu masakan, alat ritual agama, dan yang terpenting adalah pengawet makanan. Fungsi pengawet sangat dibutuhkan karena orang Eropa biasa menyembelih semua binatang ternak ketika musim dingin tiba. Jika tidak, ternak akan mati karena suhu dingin. Daging hasil penyembelihan massal tersebut mesti diawetkan untuk memenuhi kebutuhan selama musim dingin, dan rempah sangat dibutuhkan untuk itu. Oleh karena itu, Belanda kemudian mencari jalan lain untuk mendapatkan pasokan rempah. Orang-orang Belanda pun kemudian memulai penjelajahan samuderanya.
Meskipun pencarian sumber rempah merupakan faktor utama pendorong pelayaran bangsa Belanda ke nusantara, penjelajahan samudera yang mereka lakukan sejak abad 15 M, tidak hanya didasari tujuan itu. Mengutip buku Sejarah Indonesia Kelas IX terbitan Kemendikbud, sebagaimana bangsa-bangsa Eropa yang lain, pelayaran para pelaut Belanda ke berbagai belahan dunia didorong beberapa peristiwa politik dan perkembangan teknologi pada abad-15.
Penjelajahan samudera yang dilakukan oleh bangsa Eropa dilakukan setidaknya karena 2 peristiwa politik penting, yakni kekalahan kerajaan-kerajaan Katolik Eropa dalam Perang Salib dan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani. Perang Salib memporak-porandakan jalur perdagangan Eropa dan Asia karena berlangsung di perbatasan 2 benua tersebut. Selain jalur perdagangan, keadaan ekonomi kerajaan-kerajaan Eropa pun menjadi terpuruk. Kas mereka menyusut drastis karena besarnya biaya perang.
Berselang 2 abad setelah Perang Salib selesai, kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) jatuh ke tangan imperium Turki Usmani (Ottoman). Hal ini adalah kabar buruk bagi kerajaan-kerajaan di Eropa karena kota tersebut menjadi titik penting jalur perdagangan antar-benua (Eropa dan Asia). Sejak Konstantinopel dikuasai Turki Usmani, para pedagang Eropa dilarang datang ke kota itu untuk bertransaksi dengan pedagang-pedagang dari Asia. Laut Tengah kala itu pun dikuasasi oleh Turki Usmani sehingga bagi para pedagang Eropa nyaris tidak ada peluang untuk berinteraksi dengan penyuplai barang dari Timur Jauh.
Terputusnya jalur perdagangan Asia-Eropa tersebut dibarengi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa-bangsa Benua Biru. Ilmu geografi dan teknologi pelayaran kala itu mulai maju pesat di Eropa. Ilmu pengetahuan dan teknologi pelayaran yang berkembang pesat setelah Perang Salib membuat bangsa-bangsa Eropa berusaha menemukan jalur perdagangan lain melalui laut. Mereka juga berhasrat menemukan dunia baru di daratan-daratan yang masih misterius bagi bangsa-bangsa Eropa, terutama pulau-pulau penghasil rempah. Pelayaran-pelayaran yang dilakukan tersebut, selain untuk mencari sumber bahan baku dari Asia yang dibutuhkan masyarakat Eropa, juga dijadikan sarana misi penyebaran agama Katolik dan Kristen. Karena itu, lahir istilah gold, glory, and gospel (3G) yang menggambarkan semangat pelayaran para penjelajah Eropa kala itu.
Sejarah Masuknya Bangsa Belanda ke Indonesia Para penjelajah Belanda pertama kali masuk ke kepulauan Nusantara pada tahun 1595 dengan empat buah kapal, 64 pucuk meriam, dan 249 awak yang dikomandoi oleh Cornelis de Houtman. Rombongan Cornelis de Houtman sampai di Banten setahun setelahnya, yaitu pada tahun 1596. Dari Banten, rombongan ini melanjutkan pelayaran ke arah timur dengan menyusuri pantai Utara Jawa hingga ke Bali. Cornelis de Houtman dikenal sebagai kapten kapal yang bertabiat buruk. Semula kedatangannya diterima oleh orang-orang Nusantara dengan tangan terbuka. Namun, ulahnya mengubah relasi itu menjadi perseteruan dan peperangan.
Simak video penjelasan mengenai Terbentuknya VOC di atas
Meskipun begitu, rombongan de Houtman berhasil kembali ke Belanda pada 1597 dengan membawa serta banyak peti berisi rempah. Pelayaran pertama Belanda untuk mencari rempah di Nusantara kemudian dianggap sukses. Keberhasilan rombingan de Houtman kemudian mendorong pelayaran-pelayaran lain dari Belanda menuju wilayah nusantara. Pelayaran-pelayaran yang dilakukan setelah kembalinya rombongan de Houtman dikenal dengan masa wilde vaart (pelayaran tak teratur).
Pada tahun1598, sebanyak 22 kapal bertolak dari Belanda untuk mengikuti langkah rombongan Cornelis de Houtman. Kapal-kapal tersebut bukan merupakan kapal kerajaan, melainkan milik perusahan-perusahaan swasta Belanda. Salah satu rombongan di gelombang pelayaran kedua tersebut dipimpin oleh Jacob van Neck. Berbeda dengan de Houtman, van Neck bersikap lebih hati-hati dan tidak mencoba melawan para penguasa lokal Nusantara.
Pada Maret 1599, rombongan van Neck berhasil mencapai Maluku yang kala itu menjadi penghasil utama rempah-rempah dalam jumlah besar. Keberhasilan van Neck menjangkau Maluku membuatnya untung besar saat kembali ke Belanda. Pada 1601, gelombang pelayaran menuju Nusantara kembali datang dari Belanda. Sebanyak 14 buah kapal ikut dalam gelombang pelayaran ketiga ini. Rangkaian pelayaran itu lantas diikuti dengan langkah orang-orang Belanda memonopoli perdagangan rempah di sejumlah daerah nusantara. Sejarawan M. C. Ricklefs menyebutkan kesuksesan orang-orang Belanda memonopoli perdagangan rempah di Nusantara dikarenakan mereka belajar dari kesalahan Portugis.
Sebenarnya, baik Spanyol dan Portugis mencoba merahasiakan keberadaan kepulauan Nusantara dari bangsa lain di Eropa. Namun, terdapat awak kapal asal Belanda dalam kapal Portugis yang melakukan penjelajahan. Orang-orang inilah yang membuat catatan terperinci tentang seluk-beluk strategi, kelebihan, dan kekurangan pelayaran yang dilakukan Portugis.
Tiga gelombang pelayaran orang-orang Belanda ke Nusantara membuat terdapat beberapa perusahaan dagang yang saling bersaing di Nusantara persaingan dagang tersebut juga terjadi dengan para pelayar dari bangsa lain seperti Spanyol, Portugis dan Inggris. Akibatnya, keuntungan perdagangan rempah di pasar Eropa berkurang. Untuk menanggulangi dampak persaingan tersebut, pada 1602, dibentuklah Vereenig de Oost Indische Compagnie (VOC) sebagai perserikatan dagang Belanda yang ternyata pembentukan VOC ini juga terinspirasi oleh bangsa Inggris yang sudah lebih dulu membuat perserikatan dangan dengan nama EIC. Lewat VOC yang sudah terbentuk ini, perusahaan dagang swasta bersatu dan menghilangkan persaingan sesama pedagang Belanda. Berdirinya VOC juga menjadi tonggak dominasi Belanda di nusantara. Setelah berhasil memonopoli perdagangan rempah, menguasai Batavia dan sebagian wilayah Jawa, hingga mengendalikan raja-raja lokal, VOC menjadi representasi awal dari kolonialisme Belanda di nusantara.
Upaya VOC dalam menguasai perdagangan di Nusantara juga didukung oleh hak istimewa yang diberikan oleh Kerajaan Belanda terhadap organisasi dagang ini. Hak istimewa tersebut dikenal dengan istilah hak octroi berikut hak-hak yang dimiliki oleh VOC :
- Hak berperang dan menaklukan wilyah
- Hak mengangkat pegawai.
- Hak monopoli dagang di wilayah-wilayah antara Amerika Selatan dan Afrika.
- Hak memiliki angkatan perang dan membangun benteng pertahanan.
- Hak melakukan pengadilan serta hak mencetak dan mengedarkan uang sendiri.
- Hak untuk melakukan pengawasan perdaganagn pada wilayah taklukan (Pelayaran Hongi)
- Hak Ekstirpasi
Dengan berbagai hak istimewa di atas menjadikan orgaisasi ini dapat beroprasi secara maksimal untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar. Disamping melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam rempah di Nusantara, VOC juga pandai melakukan adu strategi dalam menundukan para penguasa lokal. Salah satu upaya tersebut dikenal dengan politik devide et impera yaitu politik atau startegi pecah belah dan adu domba terhadap penguasa kerajaan lokal di Nusantara. Melalui strategi tersebut VOC semakin berpengaruh bukan hanya pada sektor perdagangan melainkan sektor pemerintahan dan poltik di Nusantara karna kekuasaan kerajaan lokal semakin melemah dan berada dibawah kekuasaan VOC
Kekuasaan VOC yang dimulai dari 1602-1799 telah membawa keuntungan yang sangat besar bagi kerajaan Belanda dan para pegawainya. Akibat keuntungan tersebut para pegawai VOC mulai melakukan tindakan tidak terpuji. Korupsi besar-besaran menggerogoti tubuh VOC, kesetian para pegawai VOC terhadap kerajaan Belanda hilang karna ambisi untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya berbagai masalah lain timbul VOC memiliki banyah hutang oprasional sekaligus hutang bekas menumpas berbagai perlawanan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Nusantara di berbagai daerah. Kas VOC mengalami defisit parah hingga berujung pada kebangkrutan.
Sumber :
Tirto.id
Tidak ada komentar: